Aku, orang yang penuh konsep negatif akan diriku sendiri, selalu memandang kekurangan yang ada pada diriku.
Merasa frustrasi atas apa yang tidak kumiliki dan ketidaksempurnaan dalam hal yang kumiliki.
Merasa iri dengan keadaan orang lain yang dalam pandanganku merupakan keadaan yang menyenangkan dan ingin ku miliki, penuh keberuntungan dan sepertinya, "waaaw" dalam paradigmaku.
Sedangkan ketika aku memandang diriku, aku merasa kecil, tak berdaya, tak pantas, kurang beruntung, malang, tak memiliki hal berharga apapun yang pantas diappreciate. Semua tentang hal negatif.
Payah banget. Aku tahu, itu buruk, buruk sekali. Tapi... begitulah. Selalu tahu yang baik tapi tidak tahu bagaimana mengaplikasikannya, tidak tahu apa yang harus dilakukan menuju kebaikan itu, dan tak sanggup entah mungkin karena malas atau apa, melakukan hal baik itu.
Sebenarnya ketika orang lain melihatku, mereka mungkin juga akan memiliki pandangan yang sama mengenai pandangan baik terhadap orang lain.
Sayang, aku tak pernah tahu dan sadar kalau aku sebenarnya beruntung, cukup baik, dan cukup hebat, mungkin. Aku rasa aku perlu melihat diriku dari kacamata orang lain. Ya tidak melulu harus melihat sisi positif demi meningkatkan motivasi dan kepercayaan internalku akan diriku, tapi perlu juga melihat kejelekanku di mata mereka sebagai jalan instrospeksi dan perbaikan menuju kebaikan.
Anyway, sebenarnya apa hubungan kacamata orang lain dengan judul post ini? bersyukur?
Bagiku kacamata orang lain bisa membantuku untuk menyadari betapa wajibnya aku harus bersyukur kepada Allah atas semua yang telah aku dapat, aku nikmati, dan aku jalani.
Semuanya adalah yang terbaik menurutNya.
Aku sudah sangat lebih beruntung dan memang wajib menyadari bahwa aku memang beruntung.
Sayangnya, sulit sekali menyadari berbagai hal yang bisa membuatku untuk bersyukur kepadaNya.
Aku selalu merasa kurang dan kecewa atas apa yang aku lakukan dan lakukan.
Aku merasa tidak pernah puas dengan segala hal dalam kehidupanku.
Padahal kalau aku mau melihat ke luar sana, banyak sekali orang-orang yang lebih malang dariku. Yang lebih kesulitan. Tiap hari aku melihat pengemis, penjual tissue, tukang semir sepatu, pengamen, gelandangan, anak kecil yang jadi pemulung, dan sebagainya di stasiun. Betapa nikmatnya hidupku dibanding mereka, bukan?
Aku merasa sangat trenyuh ketika melihat anak kecil yang harus berjualan koran, mereka tidak bersekolah, dan bekerja keras demi menghidupi dirinya dan orang tuanya. Meskipun memang, terkadang ada diantara mereka yang lebih memilih berjualan koran daripada sekolah, karena menurut mereka sekolah itu hanya buang-buang uang, sedangkan ketika mereka berjualan koran mereka dapet uang. Ada juga anak kecil yang bekerja sebagai pemulung. Masih keciiil sekali, dalam pandanganku, sekitar 5-7 tahun waktu itu yang aku lihat. Dia seorang cowok kecil yang perkasa dan hebat bagiku. Tanpa malu, dia membersihkan tempat tunggu kereta dari sampah-sampah plastik, memikul kantong yang sudah cukup banyak berisi "uang", terlihat berat. Sungguh berat perjuangan hidupnya. Aku tidak pernah bahkan sampai kesulitan seperti itu dalam menjalani kehidupan. Orang tuaku masih mampu membiayaiku, meskipun tidak sampai dapat aku sisihkan untuk menuruti nafsu hedonku. Tapi itu lebih baik, daripada aku berbuat dosa dengan bertindak boros.
Lalu aku juga merasa lebih beruntung dari seorang ibu yang hamil tua yang berjualan tissue dan permen keliling tempat tunggu di stasiun. Sungguh, kasihan sekali dia, membawa beban berat dalam keadaan hamil tua.
Terlihat kecapean tapi tak berhenti berjuang mencari pembeli, meskipun terlihat sulit. Tapi mukanya tidak terlihat muram, bahkan masih bisa tersenyum. Salutnya aku. Aku lebih beruntung dari dia. Pokoknya aku lebih beruuntung. Terkadang aku sadar dengan sendirinya setelah melihat fenomena seperti itu, tapi kesadaran itu cepat pula perginya karena luntur oleh berjalannya waktu.
Astaghfirullah....
Sungguh aku telah mendustakan nikmat Allah selama ini.
Ampuni aku Ya Rabb. Tunjukilah jalan terbaikMu.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar