Senin, 29 November 2010

TERJEBAK DI ANTARA MACAN DAN ULAR


Ada sebuah cerita kuno Buddhis, yang seperti cerita sebelumnya, menggambarkan mengenai bagaimana kira-kira respon kita dalam menghadapi krisis antara hidup dan mati.
Seorang lelaki berlari tunggang langgang dikejar oleh seekor macan di hutan. Macan dapat berlari lebih cepat daripada manusia dan mereka juga makan manusia. Macan itu sedang lapar; lelaki itu sedang kesulitan.
Ketika macan hampir saja berhasil menerkamnya orang itu melilhat sebuah sumur di pinggir jalan. Dalam keputusasannya tanpa pikir panjang dia melompat ke dalam sumur itu. Segera saja dia sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal. Sumur itu kering, dan di dasarnya, dia melihat segulung besar ular hitam.
Secara naluriah dia menggapaikan lengannya untuk meraih tepi sumur, dan tangannya menemukan sebuah akar pohon yang mampu menahan laju kejatuhannya. Ketika dia telah merasa cukup tenang, dia melihat si ular hitam menjulurkan tubuhnya setinggi mungkin untuk mencoba menyerang kakinya, tetapi kakinya sejengkal lebih tinggi. Dia lalu mendongakkan kepala dan melihat si macan mencondongkan tubuhnya di bibir sumur untuk coba mencakarnya dari atas; tetapi tangannya sejengkal lebih jauh dari cakar si macan. Selama ia merenungkan keadaannya yang mengenaskan itu, dia meliha t dua ekor tikus, yang satu hitam dan lainnya putih, muncul dari sebuah lubang kecil dan mulai mengerat akar pohon yang dipegangnya.
Selama si macan mencoba mencakarnya, kaki belakangnya berpijak pada sebuah pohon kecil di tepi sumur yang menyebabkan pohon itu bergoyang-goyang. Pada salah satu dahan pohon yang menjuntai dari atas sumur, terdapat sebuah sarang lebah, madu pun mulai menetes ke dalam sumur. Melihat tetesan madu, lelaki itu menjulurkan lidahnya untuk menangkap tetesan madu tersebut.
“Mmmmmm! Sedap sekali,” dia berkata kepada dirinya sendiri dan tersenyum.
Kisah itu, sebagaimanan diceritakan secara tradisi, berakhir sampai di situ saja. Itulah sebabnya kisah itu menjadi kisah sejati bagi kehidupan. Karena kehidupan, sebagaimana sinetron televisi yang bertele-tele, tidak punya akhir yang rapi. Kehidupan ini selamanya dalam proses penuntasan.
Lebih lanjut, sering dalam kehidupan ini kita bagaikan terjebak di antara macan lapar dan ular hitam, di antara kematian dan sesuatu yang lebih buruk, dengan siang dan malam (kedua tikus) mengunyah-unyah seutas tali kehidupan tempat kita bergantung. Bahkan dalam situasi yang menakutkan seperti itu, selalu ada saja madu yang menetes entah dari mana. Jika kita bijaksana, kita akan menjulurkan lidah untuk menikmati tetes-tetes madu itu. Mengapa tidak? Ketika tidak ada yang bisa dilakukan ya jangan ngapa-ngapain, nikmati saja tetes-tetes madu kehidupan.
Seperti yang saya katakan, secara tradisional kisah itu berakhir di sini. Namun demikian dalam rangka membuat sebuah kesimpulan, saya biasanya menceritakan akhir yang sebenarnya dari kisah itu kepada pemirsa saya. Inilah yang terjadi berikutnya.
Tatkala lelaki itu sedang menikmati tetesa-tetesan madu, tikus-tikus itu mengerat akar pohon sehingga menjadi semakin tipis dan tipis saja. Si ular hitam pun terus menjulur-julurkan tubuhnya makin dekat dengan kaki si lelaki; si macan terus mencondongkan tubuhnya lebih dalam lagi hingga cakarnya nyaris menjangkau tangan si lelaki. Lalu si macan dengan penuh semangat mencondongkan kembali tubuhnya lebih dalam lagi, tiba-tiba dia terjatuh ke dalam sumur, meluncur melewati lelaki itu dan menimpa si ular sampai mati; macan itu pun sekarat di dasar sumur.
Yah, itu bisa saja terjadi! Dan sesuatu yang tak terduga biasanya terjadi. Begitulah kehidupan kita. Jadi mengapa menyia-nyiakan momen manisnya madu, bahkan bila kita berada dalam masalah yang benar-benar pelik sekalipun. Masa depan itu tak pasti. Kita tak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.

disalin dari Ajahn Brahm. Februari 2010. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Jakarta. Awareness Publication (138-140).
(si cacing dan kotoran kesayangannya; ajahn brahm; 138-140; awareness publication)

my negative self concepts

selalu sulit untuk memulai sebuah tulisan.
sulit untuk mengeluarkan kata-kata awal sebagai pendahuluan yang seharusnya bersifat menarik dan persuasif sehingga orang lain tertarik membaca.
tapi sudahlah, aku tak akan memikirkan itu.
aku hanya akan menuruti keinginan jari-jariku menari di atas papan ketik ini,
mengekspresikan perasaan dan ganjalan dari otakku.
menarik atau tidak menarik? doesn't matterlah, yang penting lega.
pelampiasan, ya itu mungkin kata yang tepat mewakilinya.

ok sekarang aku ingin menulis tentang diriku.
sesuai judul, terutama mengenai self conceptsku yang negatif.
hmm..
aku adalah seorang remaja labil. sangat labil.
sangat mudah berganti mood. moody.
detik ini aku merasa senang, beberapa saat kemudian aku langsung murung tanpa alasan yang jelas bagi orang lain. tapi bagiku jelas. aku khawatir akan sesuatu, dengan tiba-tiba. secondary memoryku muncul  mengingat suatu hal yang tidak seharusnya ku pikirkan saat aku memikirkan suatu hal.
aku adalah mahasiswi psikologi. haha. tapi apa pengaruhnya?
labil adalah manusiawi bukan?
aku tidak setuju dengan pemikiran orang bahwa menjadi mahasiswi psikologi harus memiliki basic ramah, peduli pada orang lain, pengertian, sabar, dan seperti prior knowledge lain yang menuntut keadaan ideal mengenai orang yang terlibat dalam psikologi.
itu tidak benar bagiku, karena di dalam psikologi sendiri, aku masih belajar. proses. butuh proses untuk menjadi seseorang seperti tuntutan ideal orang kebanyakan.
kalau semua orang psikologi telah memiliki basic seperti itu untuk apa mereka harus belajar lagi di psikologi.
orang-orang yang kelihatannya tidak ramah, tidak pengertian, egois, labil, pantas kok masuk psikologi.
karena di psikologi mereka akan belajar menjadi orang ideal seperti tuntutan orang seharusnya. berobat jalan mungkin istilahnya.
aku bicara begitu karena aku adalah salah satu orang yang memiliki sifat tidak ideal dari sisi psikologi.
aku akan belajar dan aku memang butuh mempelajari psikologi. aku pun butuh proses.
yah, berobat jalan, begitulah salah satu tujuanku. terdengar aneh atau tidak enak didengar ya?
tapi tidak salah kan? karena aku ingin menjadi lebih baik.
mengenai negative self concept....
harusnya aku adalah manusia yang penuh syukur.
Tuhan telah sangat baik, menganugerahiku dengan berbagai nikmat, dan bahkan mengabulkan keinginan terbesarku di usiaku yang ke 17, yang kata orang sweet seventeen.
tapi sekarang setelah aku mulai menjalaninya sungguh berat kurasakan.
padahal ini yang kuinginkan.
aku tak tahu apa aku bisa mempertahankan keinginan kuatku di masa lalu, yang telah aku perjuangkan dengan berbagai pengorbanan, atau aku akan memutuskan untuk quit dan mencoba hal baru.
entahlah. masih misteri.

aku selalu merasa aku payah.
tidak sehebat orang lain yang aku anggap hebat padahal mungkin merekapun menganggap dirinya tidak hebat.
aku merasa tidak ada artinya diantara mereka.
aku merasa aku tidak pantas berada di antara orang-orang hebat itu.
aku merasa minder dengan keadaan diriku.
aku merasa tertarik sekali dengan sebuah jurnal harian dalam blog temanku.
karena tulisannya mewakili perasaan dan keadaanku,
ternyata dia juga merasakannya.
ini kutipannya, karena aku lupa jadi aku tulis intinya saja.
"Inilah Aku dan Hidupku
ketika mereka berlenggak-lenggok bak model,
dengan pakaian mahal dan bermerk hasil keringat orang tua mereka,
aku hanya memakai pakaian murah dan tak bermerk ini, tapi aku sangat nyaman memakainya,
ketika mereka memamerkan gadged dan BB mahalnya dari kerja keras orang tuanya,
aku bersyukur masih bisa menggunakan gadged sederhana hadiah orang tuaku atas prestasiku,
ketika mereka asik nongkrong di mall dan bersenang-senang,
aku melakukan pekerjaan pembantu di rumahku, tapi aku menyukainya,
ketika mereka sibuk memikirkan harta warisan yang diberikan orang tuanya nanti,
aku sibuk memikirkan bagaimana aku harus membuat orang tuaku bahagia,
...................................................."
sepertinya itu keadaanku yang membuatku minder.
aku merasa aku tidak pantas dilihat mereka.
aku merasa lebih nyaman ketika aku disappear dan hanya melihat mereka.
tapi terkadang pun aku merasa tercekik dengan hal itu.
tidak enak. walaupun rasanya enak, tapi lebih enak ketika bisa saling memandang antara aku dan mereka.
aku merasa aku nol.
tidak mampu.
tidak berdaya.
tidak bisa apa-apa.
tidak punya kekuatan untuk ku tunjukkan.
oh Tuhan, ampunilah aku yang penuh ketidaksyukuran ini.
ampunilah aku yang mengingkari nikmatMu.
ampunilah aku yang berdosa ini.......
sesungguhnya aku tersiksa dengan paradigmaku itu.
selalu ada konflik dari dalam diriku mengenai keadaan ideal dan keadaan yang sedang ku alami.
aku ingin menjadi lebih baik, tapi itu sulit.
aku ingin mengubah paradigmaku, tapi aku tak berdaya, serasa tidak punya kekuatan.
Tuhan, tolong aku...................